Zelensky dan Harapan Baru Perdamaian di Ukraina
- FPCI UI
- Oct 11, 2019
- 2 min read
Volodymyr Zelensky, pengusaha dan aktor Ukraina yang sebelumnya terkenal karena pernah memerankan Presiden Ukraina fiktif di acara televisi Servant of the People, terjun ke dunia politik dan kemudian terpiligh sebagai Presiden Ukraina di dunia nyata ketika ia berhasil mengalahkan presiden petahana, Petro Poroshenko, pada bulan April 2019. Saat naik ke kursi kepresidenan, Zelensky bertekad untuk menghentikan konflik antara Ukraina dengan Rusia yang sudah berlangsung selama lebih dari lima tahun.
Zelensky setuju dengan rencana Ukraina untuk kembali ke format Normandy Model dalam menyelesaikan konflik ini, dengan dibantu oleh Perancis dan Jerman. Upaya ini diharapkan akan melanjutkan proses resolusi konflik di Ukraina yang sudah mandek sejak 2015. Zelensky setuju agar pemilihan umum yang bebas segera diadakan di wilayah Donetsk dan Luhansk yang sudah dikuasai separatis pro-Rusia sejak 2014, dan setelahnya kedua wilayah tersebut akan mendapatkan otonomi khusus di bawah hukum Ukraina.
Kesepakatan ini dirumuskan dalam formula Steinmeier, yang diambil dari nama Menlu Jerman yang mengusulkan format ini. Dalam format ini, Rusia harus menarik tentaranya dari Ukraina timur sebelum pemilihan umum diadakan dan otonomi khusus diberikan kepada wilayah Donetsk dan Luhansk. Selain itu, Ukraina juga tidak akan bergabung dengan Uni Eropa menurut kesepakatan ini.
Konflik antara Ukraina dengan Rusia bermula dengan peristiwa Euromaidan yang mendorong lengsernya Presiden Ukraina yang pro-Rusia, Viktor Yanukovich. Setelah Yanukovich turun, Rusia mulai berusaha masuk untuk mencegah Ukraina jatuh dalam pengaruh Barat. Di Krimea yang mayoritas penduduknya beretnis Rusia, referendum diadakan dan 95% peserta referendum memutuskan bergabung dengan Rusia, sebuah hal yang tidak diakui oleh mayoritas komunitas internasional.
Setelah Krimea, kekacauan muncul di daerah Donetsk dan Luhansk yang juga memiliki banyak penduduk beretnis Rusia. Mereka membentuk pemerintahan sendiri yang disebut Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Lugansk. Kedua pemerintahan ini menguasai wilayah-wilayah di daerah Donetsk dan Lugansk. Tindakan Rusia di Ukraina dinilai agresif oleh negara-negara Barat sehingga Amerika Serikat dan Uni Eropa menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Rusia.
Sikap Indonesia
Saat Krimea diambil alih oleh Rusia, Indonesia memutuskan menghormati kedaulatan territorial Ukraina dan menolak hasil referendum Krimea karena menganggapnya sebagai pelanggaran kedaulatan Ukraina. Indonesia mendukung Resolusi 68/282 yang menyatakan referendum Krimea sebagai illegal.
Tetapi, beberapa tahun setelah konflik terjadi dengan pencerminan konflik yang lebih besar dari persaingan geopolitik antara Rusia dengan dunia Barat, Indonesia tidak lagi secara eksplisit menentang referendum tersebut dalam forum-forum PBB. Saat perdebatan di Majelis Umum PBB tahun 2018, Indonesia memfokuskan pada penyelesaian masalah secara damai dan tidak menyebut sikap mendukung atau menentang referendum tersebut.
Comments