top of page
  • Black Facebook Icon
  • Black Twitter Icon
  • Black YouTube Icon
Search

Perjanjian Ekstradisi dan Bola Panas di Hong Kong: Apa Selanjutnya?

  • Writer: FPCI UI
    FPCI UI
  • Sep 19, 2019
  • 12 min read

Rusuh di Hong Kong. Frasa tersebut menghiasi halaman muka surat kabar internasional dalam tiga bulan terakhir. Sejak Juni 2019, ratusan ribu warga Hong Kong bergerak memprotes Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi Hong Kong-Tiongkok yang sedang didiskusikan oleh Parlemen Hong Kong. Pada 12 Juni 2019, hampir 2 juta demonstran berada di jalanan, berkumpul menuju gedung parlemen. Seiring waktu, aksi kian hebat. Bandara internasional diduduki, sementara sebagian demonstran mulai menggunakan jalan kekerasan, memaksa aparat melakukan berbagai upaya guna ‘mengamankan’ jalannya unjuk rasa. Hujan gas air mata dan peluru karet menjadi pemandangan sehari-hari.

Apa yang menyebabkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi diprotes habis-habisan? Secara singkat, RUU tersebut merupakan perjanjian kerja sama internasional antara Hong Kong dan Mainland Tiongkok, yang mengatur keabsahan pelaku tindak pidana yang melakukan kejahatan di bawah yurisdiksi Tiongkok namun merupakan warga Special Administrative Region (SAR) Hong Kong. RUU tersebut memberi lampu hijau kepada pengadilan untuk membawa dan mengadili pelaku tindak pidana ke Tiongkok. Hal ini dirasa tidak konstitusional karena berpotensi melanggar hak sipil dan kebebasan berpendapat di Hong Kong, mengingat sistem peradilan di Tiongkok dianggap mengesampingkan asas keadilan. Meskipun Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam pada akhirnya menangguhkan, kemudian mencabut sepenuhnya RUU ini, protes terhadap Beijing telanjur mendapat momentum.


II. Selayang pandang Perjanjian Bantuan Timbal Balik antar Negara

Kendati dunia telah memasuki era globalisasi, konsep kedaulatan negara (sovereignty) masih sangat kentara dalam hubungan internasional. Adanya batas-batas teritorial dan yurisdiksi seringkali menghambat tercapainya sistem peradilan internasional yang adil dan efisien. Di sinilah kebijakan luar negeri memiliki peran penting dalam memitigasi hambatan tersebut. Negara-negara dapat membuat suatu perjanjian bantuan timbal balik yang dituangkan melalui konvensi bilateral, multilateral, maupun regional. Asas yang sangat sentral dalam bentuk kerja sama ini ialah Principle of Reciprocity, bahwa negara yang meminta bantuan bersedia ‘membalas jasa’ atau membantu balik negara yang pernah dimintai bantuannya, di masa mendatang.

Asas ini umumnya dituangkan ke dalam traktat, konvensi, perjanjian bilateral, dan hukum domestik suatu negara. Asas ini juga tertuang dalam Artikel 18 paragraf 1 UN Convention on Transnational Organized Crime (UNTOC) bahwa negara yang telah meminta bantuan timbal balik wajib bersedia dimintai bantuan di masa mendatang, terkait pemberian informasi mengenai tindak pidana tersebut. UNTOC sebagai salah satu bentuk kerja sama hukum internasional ditandatangani oleh 189 anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan diratifikasi oleh 40 di antaranya. Konvensi ini menekankan dua poin kerja sama yakni Mutual Legal Assistance dan Ekstradisi.

Bantuan Hukum timbal balik atau yang biasa disebut dengan mutual legal assistance (MLA) adalah suatu proses di mana negara mencari dan memberikan bantuan legal kepada negara lain guna membantu penyelesaian kasus pidana. Jenis bantuan yang dapat diberikan menurut Artikel 18 paragraf 3 dari UN Convention on Transnational Organized Crime antara lain:

  1. Mengambil bukti atau pernyataan dari individu;

  2. Dokumen peradilan;

  3. Melakukan pencarian dan penyitaan serta pembekuan;

  4. Meneliti benda dan tempat terjadinya tindak pidana;

  5. Memberikan informasi, barang bukti dan pernyataan saksi ahli;

  6. Memberikan dokumen asli atau salinan resmi dari dokumen dan catatan yang relevan. Termasuk di antaranya adalah catatan pemerintah, bank, keuangan, perusahaan, dan bisnis;

  7. Mengidentifikasi atau melacak hasil kejahatan, properti, peralatan atau hal-hal lain untuk tujuan pembuktian;

  8. Memfasilitasi pemberian testimoni sukarela orang-orang di Negara Pihak yang meminta;

  9. Jenis bantuan lain apapun yang tidak bertentangan dengan hukum domestik Negara Pihak yang diminta.


Kanal untuk melakukan bantuan hukum timbal balik ini dapat dilaksanakan melalui kementerian luar negeri, kesatuan penegak hukum, konsulat, dan juga agensi domestik dari negara tersebut.

Sementara itu, ekstradisi merupakan proses ketika seorang tersangka atau terdakwa tindak pidana dikirim secara formal kepada negara yang meminta untuk menjalani proses pengadilan atau hukuman di negara tersebut. Secara umum, perjanjian ekstradisi dituangkan dalam sebuah traktat ataupun konvensi, namun sering kali dalam hal kejahatan internasional luar biasa ekstradisi dapat dilakukan secara ad hoc tanpa adanya traktat jika kedua negara telah memberikan persetujuannya (consent). Pada praktiknya, tidak semua tindak pidana dapat diekstradisi. Ekstradisi hanya dilakukan untuk beberapa kejahatan berat yang memiliki hukuman di atas 5 tahun. Permintaan ekstradisi dapat diajukan melalui kanal diplomasi antarnegara, disertai perintah penangkapan, informasi mengenai identitas tersangka/terdakwa, serta fakta tindak pidana. Di beberapa negara, permintaan ekstradisi akan diteliti dengan cermat oleh pengadilan setempat, di mana subjek terekstradisi dapat melakukan pembelaan serta banding. Seorang terekstradisi juga diberi hak untuk membela dirinya apabila terdapat pelanggaran hak asasi manusia seperti kekerasan dan penyiksaan. Pada akhirnya, keputusan untuk menyetujui/menolak ekstradisi berada di tangan eksekutif.

Terdapat beberapa asas hukum internasional yang harus diperhatikan dalam sebuah ekstradisi, yakni:

  1. Double Criminality Principle : Asas ini menjelaskan bahwa ekstradisi hanya diberikan jika tindakan yang dilakukan termasuk kejahatan baik di negara yang meminta maupun yang diminta, meskipun tidak di bawah nama yang sama.

  2. Principle of Speciality : Apabila ekstradisi akan dilakukan, maka tersangka/terdakwa hanya akan diadili/dihukum karena tindak pidana yang telah disetujui di perjanjian ekstradisi;

  3. Prima facie evidence : Ekstradisi untuk mengadili tersangka hanya dapat dilakukan apabila terdapat bukti permulaan yang cukup untuk meyakini bahwa tersangka telah melakukan tindak pidana yang disebutkan di perjanjian ekstradisi;

  4. Double Jeopardy Principle : Asas ini melarang orang yang dituduh untuk diadili lagi atas tuduhan yang sama (atau serupa) yang memiliki fakta yang sama, apabila orang tersebut telah menjalani hukuman yang sah.

Pada umumnya, atas dasar perlindungan hak berpolitik serta hak sipil, pelanggaran politik (political offence) dapat dikecualikan dalam perjanjian ekstradisi antar negara. Negara terminta ekstradisi dapat menolak permintaan ekstradisi dari negara yang meminta apabila tujuan dari ekstradisi adalah untuk mengadili/menahan subjek dikarenakan identitas politik, afiliasi politik, dan opini politik alih-alih karena tindak pidana itu sendiri. Salah satu contoh yang sering dikutip ialah penolakan Pengadilan Amerika Serikat terhadap permintaan ekstradisi Inggris untuk anggota Irish Republican Army yang merupakan tertuduh pelanggaran teroris bermotivasi politik. Namun, pengecualian dapat dilakukan apabila motif politik ini menyangkut kejahatan luar biasa seperti genosida dan aksi teror berlandaskan kekerasan.


III. Hong Kong dalam skema One Country, Two Systems: Masih Kurang Bebas?

RUU Ekstradisi Hong Kong-Tiongkok dipicu kasus pembunuhan Poon Hiu Wing oleh pacarnya sendiri, Chan Tong Kai pada 17 Februari 2018 di Taiwan. Chan membunuh pacarnya pada saat mereka menginap di salah satu kamar hotel. Korban diketahui sedang mengandung bayi dan Chan pun bertengkar dengan korban karena korban mengaku bahwa bayi tersebut merupakan anak dari pacar terdahulunya. Chan pun emosi dan lantas membunuh korban dan memasukkan mayat korban ke koper yang akhirnya dibuang di salah satu taman di Taipei. Pada akhirnya putusan yang dijatuhkan Hakim adalah 29 bulan dikarenakan beberapa barang bukti berada di Hong Kong yang bukan merupakan yurisdiksi pengadilan Taiwan, serta tempat terjadinya tindak pidana (Locus Delicti) berada di yurisdiksi Hong Kong. Pada saat ini Taiwan - Hong Kong tidak memiliki perjanjian ekstradisi sehingga Chan tidak dapat dihukum dengan adil.

Dalam berbagai statement kepada publik, Pemerintahan Carrie Kam memang menjadikan Kasus Poon Hiu Wing sebagai dasar untuk merumuskan RUU Ekstradisi. Namun, kontroversi telanjur bergulir sejak awal, karena RUU ini dikhawatirkan mengandung agenda terselubung, yakni ‘membersihkan’ musuh-musuh politik Beijing di lingkaran kekuasaan Hong Kong. Ini berarti mencederai kehidupan berpolitik di Hong Kong yang jelas-jelas berasas 'satu negara, dua sistem'. Carrie Lam sendiri berkali-kali menjelaskan bahwa RUU ini hanya mengatur 37 pelanggaran hukum yang layak diekstradisi, termasuk pembunuhan, penipuan, dan kejahatan kerah putih dengan ancaman minimal 7 tahun penjara. Pasal mengenai hukuman mati yang berlaku di Tiongkok pun tidak akan diterapkan mengingat Hong Kong telah menghapus hukuman mati sejak 1993.

Jika menilik sejarah, bagaimana sebenarnya hubungan Beijing – Hong Kong, terutama terkait rekam jejak interferensi Beijing terhadap wilayah tersebut? Sejarah Hong Kong Modern dapat ditelusuri hingga pertengahan abad ke-19, ketika kota pelabuhan tersebut berkembang sebagai pintu gerbang perdagangan di Tiongkok Selatan. Menyusul kekalahan Dinasti Qing dalam Perang Opium, Hong Kong pun berpindah tangan menjadi koloni Britania melalui Perjanjian Nanjing. Disepakati bahwa Hong Kong akan tetap di bawah kontrol Inggris hingga 1997.

Beberapa dekade jelang pengembalian Hong Kong ke Tiongkok, pertanyaan besar mengemuka perihal sistem pemerintahan yang kelak dianut di wilayah itu. Titik terang akhirnya muncul pada 1984, ketika Beijing dan London bernegosiasi dan menyepakati skema “satu negara, dua sistem.” Singkatnya, Hong Kong akan diberikan status spesial dalam RRT, dengan otonomi yang luas dalam pemerintahan internal, sistem politik, dan sistem yudisial. Termasuk di dalamnya, Hong Kong akan mempertahankan sistem ekonomi kapitalis, mata uang (Dolar Hong Kong), serta sistem imigrasi dan pabean yang terpisah. Warga Hong Kong juga tidak membayar pajak ke Pemerintah Pusat. Sistem transisi yang demikian direncanakan akan berlangsung hingga tahun 2047.

Tai-lok Lui dan Stephen Chiu (2019) mencatat bahwa otonomi Hong Kong sebenarnya amat luas, bahkan jika dibandingkan dengan otonomi yang dinikmati negara bagian dalam sistem federal. Betapa tidak, 99 persen produk hukum yang berlaku di mainland Tiongkok tidak berlaku di Hong Kong, yang masih mempertahankan sistem Common Law Inggris. Secara spesifik di bidang peradilan, kasus pidana yang diajukan publik ditangani sepenuhnya oleh sistem peradilan Hong Kong, termasuk pada tingkatan tertinggi yakni Hong Kong Court of Final Appeal (CFA). Memang benar bahwa Politburo Standing Committee berhak memberikan interpretasi terhadap Basic Law, jika diminta. Namun, interpretasi tersebut tidak dapat membatalkan putusan-putusan pengadilan Hong Kong sebelumnya terkait kasus sejenis. Sejak 1997, hanya lima kali standing committee memberikan interpretasi, menunjukkan adanya self-restraint dan kehati-hatian di pihak Beijing.

Dengan level independensi yang cukup tinggi, lantas otonomi apa lagi yang kurang dinikmati Hong Kong? Salah satu jawaban mungkin terletak pada absennya standar demokrasi a la barat. Sebagai contoh, Chief excecutive atau pemimpin tertingggi Hong Kong tidak dipilih melalui pemilihan umum langsung yang demokratis. Jabatan tersebut ditentukan melalui voting dalam komite pemilihan, yang anggotanya ditunjuk oleh Beijing dari kalangan bisnis, profesional, dan berbagai komunitas sosial. Senada dengan itu, hanya separuh anggota parlemen Hong Kong yang dipilih melalui pemilu. Sisanya ditunjuk melalui functional constituencies.

Mekanisme rekrutmen pejabat publik yang tidak demokratis dan transparan agaknya menyulut kecuringaan warga Hong Kong bahwa Beijing secara samar-samar berupaya ‘mengasimilasi’ Hong Kong ke dalam sistem otoriter di mainland. RUU Ekstradisi pun dituding sebagai alat untuk memberangus orang-orang yang diinginkan di negara dan wilayah yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi resmi, termasuk Taiwan dan daratan Tiongkok.

Keresahan warga Hong Kong akan minimnya transparansi politik memang beralasan. Pada 2003, sekitar setengah juta warga negara Hong Kong melakukan unjuk rasa menentang upaya kontroversial pemerintah pro-Beijing di Hong Kong meloloskan RUU Keamanan Nasional, yang dikhawatirkan akan membatasi kebebasan berpendapat. Aksi demonstrasi ini berhasil menangguhkan pembahasan RUU Keamanan Nasional dan memukul Kepala Eksekutif Hong Kong kala itu, Tung Cee Hwa. Pada 2013, mahasiswa mengepung kompleks pemerintahan di Distrik Admiralty selama 10 hari, dipicu oleh intervensi Tiongkok dalam hal kurikulum pendidikan sekolah. Dalam kurikulum tersebut, terdapat bagian mengenai "pendidikan moral dan nasional" yang isinya memuji sejarah komunis dan nasionalis China, serta menyudutkan gerakan republikanisme dan demokrasi. Tahun 2014, ribuan warga kembali turun ke jalan dalam suatu aksi yang dikenal sebagai Umbrella Revolution (雨傘革命). Dinamakan demikian karena para demonstran menggunakan payung sebagai simbol perlawanan terhadap kebijakan Beijing menghapus sistem pemilihan langsung untuk Kepala Eksekutif Hong Kong.

Turbulensi berkala di Hong Kong memaksa Beijing untuk bertindak lebih tegas terhadap para aktivis Hong Kong, yang pada gilirannya memperkeruh suasana. Salah satu insiden yang cukup menyita perhatian adalah kasus Gui Minhai, seorang pengelola toko buku di Hong Kong yang menjual buku-buku kritis terhadap pemerintah Tiongkok. Gui Minhai secara misterius hilang di Thailand pada tahun 2015 dan kemudian berada di Tiongkok dan dijatuhi hukuman selama dua tahun terkait kecelakaan mobil yang sudah lama terjadi pada tahun 2003. Ia dibebaskan pada tahun 2017 dan diduga ditahan kembali selama satu tahun. Sampai saat ini belum ada pernyataan resmi mengenai keberadaannya. Peristiwa-peristiwa di atas cukup menyiratkan adanya ketidaknyamanan pemerintah Beijing terhadap Hong Kong, yang kemudian diterjemahkan melalui upaya-upaya pembatasan kebebasan berpolitik.

Saat ini RUU ekstradisi telah dicabut oleh pemerintahan Carrie Lam bersamaan dengan diumumkannya pembentukan Independent Police Complaints Council (IPCC) yang akan menjadi badan independen untuk memenuhi tuntutan investigasi dari para demonstran. Lam juga berjanji akan menggelar dialog langsung tanpa intervensi dengan demonstran, tokoh masyarakat, profesional, dan akademisi guna memberi masukan kepada pemerintah dalam mencari formula yang tepat.


Bagaimanapun, nasi telah menjadi bubur. Walaupun RUU Ekstradisi telah ditangguhkan, demonstrasi telanjur mendapat momentum. Mereka kini berfokus menyuarakan tuntutan lebih keras yang sulit dikabulkan oleh Carrie Lam, antara lain:

  • Akses untuk mempertanyakan akuntabilitas dan mengajukan pertanyaan terkait perlindungan hak asasi manusia pada kepolisian Hongkong;

  • Amnesti bagi demonstran yang tertangkap;

  • Reformasi politik yang demokratis untuk memberikan warga negara Hongkong hak pilih yang independen.

Menarik untuk dinantikan bagaimana Pemerintah Beijing akan merespons perkembangan di atas. Dengan naiknya Tiongkok sebagai raksasa ekonomi global (juga berkurangnya proporsi sumbangsih Hong Kong dalam ekonomi Tiongkok), Beijing memiliki daya tawar kian tinggi, dan kiranya tidak akan membuka pintu demokrasi barat di Hong Kong dalam waktu dekat. One Country Two Systems, sejak awal bergulirnya, dapat dibaca sebagai trade-off bahwa otonomi tinggi yang dinikmati Hong Kong dibayar dengan kontrol Beijing atas komposisi aparatur pemerintahan di Hong Kong, agar senantiasa sejalan dengan politburo di pusat.



IV. Peran Indonesia dalam kerja sama hukum pidana internasional serta perjanjian ekstradisi

Politik luar negeri Indonesia berpegang pada prinsip bebas aktif. Indonesia mendorong persahabatan dan perdamaian melalui kerja sama internasional di berbagai bidang, baik dalam kerangka bilateral maupun multilateral. Dalam ranah kerja sama hukum dan peradilan, Indonesia memiliki sejumlah perjanjian ekstradisi dengan negara lain. Tentu, Indonesia tetap berpedoman pada prinsip umum hukum internasional antara lain asas penghormatan kedaulatan negara, kedaulatan hukum, kesetaraan, dan saling menguntungkan. Landasan hukum dalam melakukan perjanjian ekstradisi Indonesia tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi. Beberapa asas-asas ekstradisi pun berlaku di Indonesia seperti asas double criminality, ekstradisi tidak dapat dilakukan terhadap kejahatan politik, dan ekstradisi tidak dapat menyangkut tindak pidana militer.

Bagi Indonesia, perjanjian ekstradisi dengan sejumlah negara cukup krusial mengingat Indonesia seringkali terkena dampak dari kejahatan transnasional terorganisir yang memiliki elemen lintas batas negara. Tidak hanya pelaku human trafficking dan penyelundupan narkotika, pelaku tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan korupsi seringkali memanfaatkan celah batas negara untuk lepas dari jerat hukuman pidana di Indonesia.

Salah satu contoh kasus yang menggemparkan ialah kasus Eddy Tansil yang juga dijuluki sebagai 'si licin'. Eddy Tansil merupakan koruptor kelas kakap Indonesia yang juga seorang pengusaha pabrik perakitan otomotif dan minuman beralkohol (PT Golden Key Group).Pada 1990-an, Eddy Tansil telah terbukti merugikan uang negara sebesar 1.3 triliun rupiah akibat pencucian uang yang dilakukan dengan cara kredit ke beberapa bank negara dan juga bank swasta. Eddy pun terbukti telah memalsukan beberapa proyeknya sehingga terbukti bahwa beberapa proyeknya merupakan proyek fiktif. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pun akhirnya menjatuhkan vonis bersalah dan menghukum kepada Eddy Tansil dengan hukuman 20 tahun penjara, denda Rp 30 juta serta uang pengganti Rp500 miliar. Ia juga harus mengganti kerugian negara sebesar 1,3 triliun rupiah. Sialnya, Eddy Tansil berkali-kali mencoba melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Pada percobaannya yang kelima, ia berhasil lolos dan segera melarikan diri ke beberapa negara. Muncul beberapa spekulasi dan bukti bahwa Eddy Tansil telah melarikan diri ke Tiongkok dan berada di bawah perlindungan Partai Komunis Tiongkok. Namun Indonesia tidak dapat membawa pulang Eddy Tansil untuk dihukum di pengadilan Indonesia dikarenakan ketiadaan perjanjian ekstradisi antara kedua negara tersebut.

Pada praktiknya, perumusan perjanjian ekstradisi acapkali berbelit. Kasus yang menarik dibahas adalah hubungan Indonesia-Singapura. Singapura sudah lama dikenal sebagai safe haven bagi koruptor Indonesia. Cukup banyak tersangka tipikor kelas kakap yang melarikan diri dan menetap di Singapura, dengan memanfaatkan ketiadaan perjanjian ekstradisi. Bagi Singapura, hal ini membawa berkah karena para tersangka korupsi ini merupakan sumber investasi dan devisa bagi Singapura, yang pada akhirnya menggerakkan roda perekonomian Singapura. Pada tanggal 27 April 2007 di Bali, Indonesia dan Singapura secara mengejutkan menandatangani perjanjian ekstradisi. Kendati begitu, perjanjian ini belum dapat terlaksana karena DPR RI menunda proses ratifikasi. Terdapat satu klausul yang mengganjal bahwa Singapura meminta hak untuk menggunakan fasilitas militer dan teritori Indonesia untuk latihan militer. Diketahui, Singapura tidak memiliki cukup lahan untuk berlatih sehingga AU Singapura terpaksa menumpang berlatih di Eropa. Permintaan Singapura rasanya terlampau berat untuk dipenuhi, karena jelas mengancam kedaulatan RI.

Dengan negara lain sendiri, Indonesia tercatat telah memiliki perjanjian ekstradisi dengan Malaysia, Thailand, Australia, Hong Kong, hingga Korea Selatan. Indonesia juga telah mengesahkan perjanjian ekstradisi dengan Hong Kong melalui Perundingan dengan sejumlah negara lain juga masih berlangsung. Saat ini Indonesia sedang melakukan diskusi mutual legal assistance dan ekstradisi dengan Iran. Dengan langkah-langkah di atas, pemerintah Indonesia berharap agar pemberantasan kejahatan transnasional terorganisir dapat dilakukan dengan lebih efektif.

Barangkali sebagai respons terhadap berlarutnya negosiasi bilateral, pada 2018 lalu Indonesia juga menjadi pionir dalam mendorong tercapainya perjanjian ekstradisi regional ASEAN. Sampai saat ini negara ASEAN merumuskan model perjanjian ekstradisi yang akan dianut. Secara garis besar perjanjian ekstradisi ini meliputi upaya memberantas kejahatan lintas batas negara seperti perdagangan narkotika, terorisme, perdagangan orang, penangkapan ikan secara ilegal, dan pencucian uang. Meski semua anggota ASEAN mengaku menyambut positif traktat regional ini, beberapa kendala seperti perbedaan sistem hukum dan prinsip sovereignty, non-interference ditengarai akan menghambat pengimplementasian traktat ini.

Salah satu kekurangan perjanjian ekstradisi Indonesia sampai saat ini adalah belum tercantumnya aturan dan kesepakatan mengenai transfer of prisoner. Akibatnya, pelaku tindak pidana yang berkebangsaan lain belum bisa dikirim untuk ditangguhkan masa tahanannya dan menjalani masa tahanannya di negara asalnya. Hal ini bisa dilihat dalam kasus Marry Jane yang merupakan terpidana kasus penyelundupan narkotika jenis heroin sekaligus korban human trafficking yang pada akhirnya harus menjalani hukuman mati di Indonesia walaupun Marry Jane berkebangsaan Filipina dan negara asalnya tidak mengakui hukuman mati sebagai hukuman bagi penyelundup narkotika.

Akhirnya, Indonesia telah terus menerus secara konsisten memperjuangkan implementasi politik luar negeri yang lebih aktif melalui terbentuknya kerja sama internasional. Namun, masih banyak unsur perjanjian ekstradisi maupun bantuan hukum timbal balik Indonesia yang harus ditingkatkan dan dikembangi agar Indonesia dapat berpartisipasi secara lebih aktif dalam hubungan internasional dengan negara lain.





V. Bibliografi

Aust, Anthony. Handbook of International Law. Cambridge University Press, 2017.

Lui, Tai-lok, Stephen Chiu. Routledge Handbook of Contemporary Hong Kong. Routledge, 2019.

‘The sources of international law’ in md evans (ed) International Law (oUP, 2010) 95; mn shaw, International Law (cUP, 2003) 66.

"Political Offence" in Extradition Treaties. (1909). The American Journal Of International Law, 3(2), 459. doi: 10.2307/2186140

Blakesley, Christopher L. (1987). "The Evisceration of the Political Offense Exception to Extradition". Denver Journal of International Law and Policy

Extradition. International Extradition. Retroactive Treaty (1908). Harvard Law Review, 22(2), 144. doi: 10.2307/1324163

Mokoena, U., & Lubaale, E. (2019). Extradition in the absence of state agreements: Provisions in international treaties on extradition. South African Crime Quarterly, (67), 31-42. doi: 10.17159/2413-3108/2019/v0n67a4927

Wacks, R. (1999). The new legal order in Hong Kong. Hong Kong: Hong Kong University Press.

United Nations Office on Drugs and Crime. (2004). United Nations Convention against Transnational Organized Crime and the protocols thereto. Vienna.

United Nations Office on Drugs and Crime. (2012). Manual on mutual legal assistance and extradition. Vienna.

QnA: Kenapa Rakyat Hong Kong Tolak RUU Ekstradisi ke China?. (2019). Retrieved 5 August 2019, from https://kumparan.com/@kumparannews/qna-kenapa-rakyat-hong-kong-tolak-ruu-ekstradisi-ke-china-1rGEay7HB78

Grisly details emerge over student’s killing of girlfriend in Taiwan. (2019). Retrieved 5 August 2019, from https://www.scmp.com/news/hong-kong/law-and-crime/article/3005990/body-folded-suitcase-gruesome-details-emerge-hong-kong

What Is Hong Kong’s Extradition Bill?. (2019). Retrieved 5 August 2019, from https://www.nytimes.com/2019/06/10/world/asia/hong-kong-extradition-bill.html

Analysis James Griffiths, C. (2019). Hong Kong extradition law: What happens next?. Retrieved 5 August 2019, from https://edition.cnn.com/2019/06/15/asia/hong-kong-extradition-law-china-intl-hnk/index.html

Suastha, R. (2019). Negara ASEAN Sepakati Model Perjanjian Ekstradisi. Retrieved 6 August 2019, from https://www.cnnindonesia.com/internasional/20180214182201-106-276241/negara-asean-sepakati-model-perjanjian-ekstradisi

"Perjanjian Ekstradisi Indonesia Dan Singapura." KOMPASIANA. N.p., 2019. Web. 10 Sept. 2019.




 
 
 

Recent Posts

See All

コメント


© 2019 by FPCI UI

bottom of page