top of page
  • Black Facebook Icon
  • Black Twitter Icon
  • Black YouTube Icon
Search

Segitiga Strategis AS-Rusia-Tiongkok dan Posisi Indonesia di Dalamnya

  • Writer: FPCI UI
    FPCI UI
  • Nov 6, 2019
  • 9 min read

Persaingan antara kekuatan besar dunia kembali mendominasi lanskap hubungan internasional memasuki penghujung dekade kedua abad ke-21. Unipolaritas Amerika Serikat pasca Perang Dingin menimbulkan kesan bahwa liberalisme akan menjadi ideologi tunggal yang akan menguasai dunia, sebagaimana diprediksikan Francis Fukuyama melalui buku The End of History. Fenomena globalisasi juga membuat pembicaraan tentang persaingan hegemoni global dianggap tidak lagi relevan. Namun demikian, fakta hari ini menunjukkan hal sebaliknya. Amerika Serikat tidak lagi dapat memposisikan dirinya sebagai hegemon tunggal dengan nilai-nilai liberalisme yang mereka anut. Ada beberapa negara yang diproyeksikan akan mengancam posisi Amerika Serikat, tetapi yang paling banyak mendapat perhatian masyarakat global adalah Rusia (penerus Uni Soviet yang menjadi kekuatan besar di era Perang Dingin atau resurgent power) dan Tiongkok (kekuatan baru yang sedang tumbuh atau rising power).


Asumsi yang digunakan penulis untuk dapat menyebut Rusia sebagai resurgent power dan Tiongkok sebagai rising power adalah peningkatan kapabilitas relatif mereka secara multidimensional selama dua dekade terakhir terhadap Amerika Serikat dan negara-negara lain. Rusia yang mengalami kekacauan ekonomi di tahun 1990-an, kini mengalami modernisasi militer yang mengesankan dengan teknologi baru yang unggul. Kebangkitan ini lalu diterjemahkan dalam tindakan asertif Rusia di Eropa Timur, Asia Tengah, dan Timur Tengah. Selain itu, Rusia juga memanfaatkan sumber daya migas untuk meningkatkan profil geoekonominya. Tahun ini, Rusia tercatat sebagai ekonomi terbesar ke-5 dunia berdasarkan PDB riil. Rusia juga semakin aktif membangun hubungan kemitraan di hampir seluruh kawasan di dunia, yang difokuskan pada kerjasama keamanan.

Sementara itu, Tiongkok mengalami peningkatan kapabilitas ekonomi yang sangat mengesankan sejak reformasi 1978. Tiongkok kini menjadi ekonomi terbesar ke-2 di dunia dan mulai memanfaatkan superioritas ekonomi tersebut untuk membangun militer yang unggul. Alhasil, Tiongkok menjadi kekuatan militer terkuat ke-3 di dunia setelah Amerika Serikat dan Rusia. Tiongkok juga membangun kemitraan di berbagai kawasan, mulai dari Afrika hingga Amerika Latin, yang berfokus pada pembangunan ekonomi. Tulisan ini akan membahas bagaimana hubungan segitiga strategis ketiganya berdampak pada politik internasional kontemporer dan saran kebijakan bagi Indonesia dalam menghadapi segitiga strategis global.


Apa itu Segitiga Strategis?

Konsep yang akan dibahas untuk menganalisis hubungan antara tiga kekuatan besar ini adalah segitiga strategis atau strategic triangle. Segitiga strategis pertama kali muncul di era 1970-an, sebagai alat untuk menganalisis hubungan antara tiga kekuatan besar saat itu (yang juga kekuatan besar saat ini): Amerika Serikat, Uni Soviet, dan Tiongkok. Saat itu, Tiongkok baru saja membuka hubungan dengan Amerika Serikat dengan harapan untuk meredam pengaruh Uni Soviet. Di sisi lain, Amerika Serikat dan Uni Soviet juga khawatir dengan ekspansi komunisme ala Tiongkok di Asia Timur dan Tenggara. Seiring waktu, perubahan geopolitik mengubah negara-negara yang digolongkan masuk dalam segitiga strategis global, mulai dari AS-Tiongkok-Jepang dan AS-Uni Eropa-Tiongkok hingga kini AS-Rusia-Tiongkok.

Segitiga strategis adalah konsep yang berakar pada paradigma realis dalam hubungan internasional. Konsep ini pertama dijelaskan dalam hubungan internasional oleh Lowell Dittmer (1981). Dalam konsep ini, ada tiga kekuatan besar dunia yang memiliki kapabilitas yang besar tetapi asimetris satu sama lain, sebut saja A, B, dan C. A merasa khawatir dengan ekspansi pengaruh B, sehingga memutuskan untuk menggandeng C agar A dan C sama-sama menekan pengaruh B. Tetapi, B dan C juga memiliki ketakutan terhadap pengaruh A sehingga mereka juga bekerja sama. Di sisi lain, A dan B juga memiliki persepsi ancaman terhadap C sehingga mereka juga ingin menekan pengaruh C. Oleh karena itu, interaksi yang muncul dalam sebuah segitiga strategis adalah kompetisi dan kolaborasi yang sifatnya berganti-ganti dan bisa terjadi di saat yang bersamaan. Menurut perspektif realis dalam Hubungan Internasional, ketiga pihak pada hakikatnya berupaya mengumpulkan kekuatan sebanyak-banyaknya demi kepentingan nasionalnya. Pada saat konsep ini dirumuskan, hubungan internasional negara-negara besar berfokus pada hubungan tiga kekuatan besar dunia dengan menganalisis hubungan dyadic (dua pihak) satu sama lain, yaitu AS-Uni Soviet, Uni Soviet-Tiongkok, dan AS-Tiongkok. Perimbangan kekuatan yang digunakan dalam artikel ini merujuk ke perimbangan yang dijelaskan Hans Morgenthau yang melihat bagaimana usaha negara A menguasai kekuatan negara C berhasil ditahan oleh kekuatan negara B, sementara kekuatan negara B atas negara C ditahan oleh pengaruh negara A.


Pola Interaksi Hubungan AS-Rusia-Tiongkok

Sekarang saatnya menganalisis satu per satu hubungan dyadic di antara ketiga kekuatan besar global, dan sikap mereka terhadap satu kekuatan global lainnya. Interaksi yang pertama kita bahas yaitu kerjasama Rusia-Tiongkok untuk menentang hegemoni Amerika Serikat. Sejak permulaan abad XXI ini, Rusia dan Tiongkok seringkali menyuarakan ketidakpuasannya terhadap tata kelola global yang dipimpin Amerika Serikat. Rusia sejak tahun 2003 sudah mengkritik berbagai tindakan Amerika Serikat yang dianggap bertentangan dengan hukum internasional, seperti intervensi di Irak dan Libya. Rusia yang sebelumnya berharap dapat bekerja sama lebih baik dengan Amerika Serikat pasca Perang Dingin, mulai mengkhawatirkan posisi AS sebagai hegemon tunggal. Hal ini pernah diungkapkan Presiden Rusia Vladimir Putin pada mimbar Konferensi Keamanan Munich 2007. Faktor-faktor yang membuat hubungan AS-Rusia memburuk di antaranya ekspansi NATO ke Eropa Tengah dan Timur, dukungan Amerika Serikat terhadap pergantian rezim di negara-negara bekas Uni Soviet, serta keyakinan masyarakat Rusia bahwa bantuan Amerika Serikat tahun 1990-an hanya mendorong instabilitas dan masalah sosial di Rusia. Di tingkat akar rumput, publik Rusia juga masih menjaga jarak dengan Barat khususnya dalam nilai-nilai seperti LGBT, yang dianggap mengancam nilai-nilai budaya tradisional mereka.


Sementara itu, Tiongkok juga memiliki perbedaan kepentingan dengan Amerika Serikat tentang bagaimana melihat dunia. Elite politik di Beijing berkali-kali mengkritisi tatanan global yang dipimpin AS, kendati tidak memberi sinyal bahwa Tiongkok berambisi mengambil alih kepemimpinan tersebut. Tahun 2018, pemimpin Tiongkok Xi Jinping menyatakan bahwa Tiongkok tidak ingin mendominasi dunia seperti Amerika Serikat, tetapi tetap menjadi salah satu pemeran penting dalam hubungan internasional. Terlepas dari pernyataan publik Beijing di panggung global yang terkesan hati-hati, Tiongkok mulai berani mengambil gestur tegas terhadap AS. Perang dagang yang alot dan berlarut sejak 2018 lalu menunjukkan bahwa Tiongkok memiliki daya tawar yang cukup untuk berkonfrontasi (setidaknya secara ekonomi) dengan great powers lainnya.

Amerika Serikat sudah memahami potensi ancaman Rusia dan Tiongkok terhadap hegemoninya, dengan menyebut Rusia dan Tiongkok sebagai dua kekuatan revisionis yang ingin melemahkan posisi AS melalui teknologi dan kekerasan. Poin ini pun sempat disinggung dalam Strategi Keamanan Nasional AS 2017. Suka atau tidak suka, Rusia dan Tiongkok kini memiliki hubungan yang dekat, dengan kontak dan pertemuan elite kian sering diselenggarakan di antara kedua pihak. Menlu Rusia Sergei Lavrov menyebut hubungan Beijing-Moskow sebagai “equal partnership for a multipolar world order”. Namun demikian, harus diakui bahwa Rusia dan Tiongkok juga memiliki beberapa ketidaksepakatan. Di antaranya, kekhawatiran Rusia akan ekspansi ekonomi Tiongkok ke Asia Tengah, kekhawatiran Tiongkok akan hubungan baik Rusia dengan pesaing di Asia seperti India, Korea Selatan dan Jepang, serta keengganan kedua negara untuk mendukung satu sama lain dalam isu yang dianggap sensitif, seperti aneksasi Krimea dan klaim Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan.


Setelah melihat hubungan Rusia-Tiongkok dalam bingkai persaingan kontra Amerika Serikat, kini kita akan melihat hubungan AS-Rusia. Amerika Serikat dan Rusia, meskipun sama-sama menjadi kekuatan global yang saling bersaing, nyatanya berkooperasi satu sama lain. Kedua negara terlibat kerja sama intensif dalam beberapa bidang, seperti pengendalian senjata nuklir (arms control) dan penanggulangan terorisme. Tentu saja, terdapat perbedaan cara pandang yang seringkali tidak bisa dielakkan, seperti kasus keluarnya Amerika Serikat dari perjanjian nuklir INF dan sikap kedua negara yang berbeda dalam memandang terorisme di Suriah.

Dalam menghadapi Tiongkok yang berpotensi menjadi kekuatan global yang melampaui Amerika Serikat dan Rusia, beberapa akademisi AS seperti Stephen Walt dan Henry Kissinger mengusulkan agar Washington-Moskow bekerja sama untuk menahan pengaruh Tiongkok. Kissinger sendiri pernah mengimplementasikan strategi ini ketika AS dan Tiongkok bahu membahu menahan pengaruh Uni Soviet, meskipun terdapat jurang perbedaan yang tajam di antara keduanya. Prospek untuk mengulang strategi tersebut cukup terbuka. Sejumlah negara Asia Pasifik yang khawatir dengan Tiongkok kini mengintensifkan kerjasama strategis dengan baik AS maupun Rusia. Di antara negara-negara yang dimaksud terdapat India dan Vietnam. Selain itu, AS dan Rusia sejak 2011 menjadi anggota KTT Asia Timur (East Asia Summit) yang dapat dilihat sebagai upaya Asia Tenggara menahan dominasi tunggal tetangga di utara.


Terakhir, kita akan melihat hubungan AS-Tiongkok. Meskipun kedua negara saat ini terlibat perang dagang yang intens, kedua pihak masih memiliki angka perdagangan yang sangat tinggi satu sama lain. Beberapa pihak melihat keterbukaan Tiongkok dibantu oleh Amerika Serikat, yang berusaha memasukkan Tiongkok ke dalam sistem perdagangan dan finansial global. Meskipun Tiongkok seringkali mengkritik tatanan neoliberal yang dipimpin Amerika Serikat, beberapa ahli melihat bahwa Tiongkok juga turut menikmati manfaat dari tata internasional tersebut, misalnya saja akses pasar. Jika Amerika Serikat dan Tiongkok bisa meningkatkan interdependensinya satu sama lain melalui perusahaan-perusahaan multinasional dan beberapa joint venture, bukan tidak mungkin hal tersebut dapat meredam potensi ekonomi Rusia untuk berkembang menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia. Hal ini memang selalu ditakutkan oleh Kremlin, selain juga kekhawatiran bahwa Beijing dan Washington mempersepsikan Moskow sebagai declining power yang tidak perlu ditakuti, bahkan bisa diabaikan. Kekhawatiran ini membuat Rusia tidak jarang mengkritik kebijakan beberapa media yang cenderung memfokuskan pemberitaan pada AS dan Tiongkok. Kedutaan Besar Rusia di Inggris pernah mengkritik majalah The Economist karena pembahasannya yang terlalu fokus pada AS dan Tiongkok, serta cenderung meminggirkan Rusia dalam isu-isu di mana Rusia memegang peran penting, seperti masalah luar angkasa. (”not a single word about Russia in space. Bravo @TheEconomist!)


Bagaimana hasil dari pertarungan ketiga raksasa di masa mendatang, agaknya merupakan pertanyaan yang sukar dan spekulatif untuk dijawab. Oleh karena itu, penulis hanya akan menjelaskan tantangan kunci yang akan dihadapi ketiga negara, guna melihat sejauh mana mereka dapat berperan sebagai kekuatan besar di masa depan. Untuk Amerika Serikat, meskipun mereka mengalami penurunan secara relatif dalam hal militer dan ekonomi, AS tetap akan memainkan peran signifikan sebagai kekuatan besar dengan sumber daya yang mereka miliki serta dominasi yang mereka tancapkan dalam institusi-institusi internasional. Sementara itu, Rusia memiliki pekerjaan rumah di bidang ekonomi, untuk bisa mempertahankan diri sebagai kekuatan besar dunia dan tidak disalip kekuatan lainnya seperti India. Warisan militer era Soviet memang bermanfaat, tetapi mereka juga harus meningkatkan kapabilitas dan inovasinya karena mereka tidak bisa bergantung pada warisan tersebut sepenuhnya. Untuk Tiongkok, tantangan yang mereka hadapi adalah perlambatan ekonomi, presensi militer secara global yang masih kalah dari AS, serta berbagai problem demografi di masa mendatang.. Tetapi, secara umum agaknya aman untuk memperkirakan bahwa hubungan triangular di atas akan mengubah peta geopolitik global, mengakhiri sepenuhnya era unipolaritas yang terjadi sejak 1991.


Posisi Indonesia Menghadapi Segitiga Strategis Global

Indonesia menggunakan politik bebas aktif sebagai doktrin dasar politik luar negerinya sejak tahun 1948. Gagasan ini diperkenalkan Wakil Presiden RI dan Menteri Luar Negeri saat itu, Mohammad Hatta. Sebagaimana dikutip dalam buku Yanyan Mochammad Yani dan Ian Montratama, Quo Vadis Politik Luar Negeri Indonesia, intepretasi bebas aktif mengalami perubahan seiring dengan perbedaan pandangan pemerintahan yang berkuasa di Indonesia. Tetapi, secara umum politik luar negeri bebas aktif memiliki makna “bebas” yaitu Indonesia tidak ingin didikte oleh kekuatan eksternal mana pun dalam pengambilan kebijakan, dan “aktif,” berarti bahwa Indonesia mewujudkan perdamaian dan stabilitas dunia sebagaimana diamanatkan dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945.


Dalam memandang pertarungan strategis global, akademisi Hubungan Internasional umumnya melihat bahwa negara yang lebih lemah akan melakukan balancing atau bandwagoning terhadap negara yang lebih kuat. Balancing berarti beraliansi melawan negara yang menjadi ancaman, sedangkan bandwagoning berarti beraliansi dengan sumber ancaman. Politik luar negeri yang benar-benar netral dirasa tidak mungkin, juga tidak baik karena negara tersebut dapat menjadi rentan, di saat ia sebenarnya bisa mendapat manfaat dari hubungan dekat dengan negara besar.


Menurut Yani dan Montratama, konsep balancing ataupun bandwagoning tidak sepenuhnya cocok dengan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif. Yani dan Montratama melihat bahwa Indonesia dapat berhubungan dengan baik dengan dua kekuatan besar, yaitu Amerika Serikat dan Tiongkok. Agar tidak jatuh terhadap persaingan geopolitik keduanya, Indonesia dapat menjadi contoh bagi negara-negara Asia Tenggara dalam membangun hubungan baik dengan keduanya. Indonesia bermitra dengan Amerika Serikat di bidang politik-keamanan dan bermitra dekat dengan Tiongkok dalam bidang ekonomi. Konsep ini disebut oleh Yani dan Motratama sebagai bargaining. Menggandeng mitra seluas-luasnya dianggap sebagai opsi yang paling baik.


Menurut penulis, bargaining adalah konsep yang dapat dijadikan solusi bagi Indonesia dalam menghadapi persaingan kekuatan-kekuatan besar dunia. Tetapi, menurut penulis ada perubahan yang dapat dilakukan terhadap konsep bargaining yang ditawarkan Yani dan Montratama. Tidak dimasukkannya Rusia dalam konsep bargaining tidak sesuai dengan realita geopolitik saat ini yang berfokus pada segitiga strategis AS-Rusia-Tiongkok. Perlu diketahui bahwa meskipun Rusia tidak memiliki pengaruh di Asia Tenggara sekuat AS atau Tiongkok Rusia tetap menjadi elemen penting dalam geopolitik Asia Pasifik dengan keikutsertaan Rusia di beberapa forum multilateral seperti menjadi mitra dialog ASEAN dan menjadi anggota ARF dan KTT Asia Timur bersama kekuatan-kekuatan lainnya.

Jika dalam konsep bargaining Yani dan Montratama Indonesia sebaiknya membangun alignment keamanan dengan AS dan ekonomi dengan Tiongkok, menurut penulis hubungan tersebut harus diseimbangkan dengan Rusia di tengah-tengah AS dan Tiongkok. Dalam hal ini, Indonesia dapat lebih fleksibel dalam menentukan mitranya. Di bidang keamanan, Indonesia akan lebih leluasa membeli alutsista dari AS maupun Rusia tanpa ditekan salah satu pihak, berbeda jika Indonesia hanya menandatangani perjanjian keamanan dengan AS saja. Selain itu, di bidang ekonomi Indonesia akan menghindari potensi ketergantungan dengan Tiongkok jika Indonesia bisa bermitra secara ekonomi dengan kekuatan ekonomi lainnya, seperti AS dan Rusia. Di sisi lain, Indonesia juga menggandeng mitra-mitra regional lainnya serta ASEAN dalam membangun konsep bargaining yang direvisi oleh penulis. (Penulis juga menggunakan konsep bargaining ini di artikel yang sedang dirumuskan penulis untuk artikel di Jurnal Hubungan Luar Negeri Kemenlu RI)


Menurut penulis, cara bagi Indonesia untuk menghadapi segitiga strategis global abad ke-21 dalam membangun hubungan yang baik dengan ketiga negara tanpa jatuh ke pengaruh ketiga negara tersebut. Dengan pendekatan yang lebih berimbang dan menjadikan ketiga negara sebagai mitra multisektoral, maka Indonesia akan dilihat sebagai negara yang mampu menyeimbangkan kekuatan-kekuatan besar dan menjadi contoh bagi negara-negara lain di Asia Tenggara dan negara-negara berkembang lainnya dalam menghadapi tantangan persaingan kekuatan besar. Hal ini diperkuat dengan fakta saat ini bahwa Indonesia dapat menangani hubungan yang baik dengan ketiga kekuatan besar dengan kemitraan strategis serta dialog konstruktif yang dijalankan Indonesia. Bebas dan aktif adalah solusi yang melintas zaman dalam menghadapi tantangan politik global bagi politik luar negeri Indonesia.


Referensi

Morgenthau, Hans. Politics Among Nations. Beijing: Peking University Press, 1985.

Mearsheimer, John. The Tragedy of Great Power Politics. Chicago: 2001.

Dittmer, Lowell. The Strategic Triangle: An Elementary Game-Theoretical Analysis. World Politics 33, No. 4 (Jul., 1981), pp. 485-515.

Tsygankov, Andrei P. Handbook of Russian Foreign Policy. London: Routledge, 2018.

Yani, Yanyan Mochammad dan Ian Montratama. Quo Vadis Politik Luar Negeri Indonesia. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2016.

Chuasovsky, Eugene. “The Ever Shifting “Strategic Triangle” between Russia, China, and the U.S.” https://worldview.stratfor.com/article/ever-shifting-strategic-triangle-between-russia-china-and-us Stratfor Worldview, 2019.

Rosman, Gilbert. “The Sino-Russian-US Strategic Triangle: A View from China” https://worldview.stratfor.com/article/ever-shifting-strategic-triangle-between-russia-china-and-us, The ASAN Forum, 2019.

Wishnick, Elizabeth. “The New China-Russia-U.S. Triangle” NBR Analysis Brief, 2015.

National Strategy Security of the United States of America, 2017.

The Foreign Policy Concept of the Russian Federation, 2016.

Poklonskaya, Galina. “Rossiya-KNR: druzhba protiv SSCHA” https://ru.euronews.com/2019/06/04/xi-state-visit-to-russia Euronews Russia, 4 Juni 2019.

Kissinger, Henry. “The Future of U.S.-China Relations: Conflict is a Choice, Not a Necessirty” Foreign Affairs 91, no. 2 (2012). 44-55.

 
 
 

Recent Posts

See All

Comentarios


© 2019 by FPCI UI

bottom of page