Diplomasi Indonesia di Pasifik Selatan: Tantangan dan Peluang
- FPCI UI
- Jun 25, 2019
- 7 min read
Pasifik Selatan merupakan kawasan yang sering terpinggirkan dalam kajian Hubungan Internasional dan Politik Luar Negeri. Hal ini dipicu oleh anggapan bahwa kawasan ini hanya berisikan negara-negara kecil, tertinggal, dan jauh dari pusat geopolitik dan geoekonomi dunia. Namun demikian, bukan tidak mungkin kawasan ini mendapat perhatian lebih besar di masa mendatang. Pasalnya, negara-negara di kawasan ini terbilang rentan terhadap tantangan-tantangan global di abad ke-21, khususnya isu pembangunan berkelanjutan dan perubahan iklim – kenaikan permukaan air laut adalah ancaman riil yang bisa membahayakan eksistensi mereka.
Secara geografis, Indonesia merupakan tetangga dekat negara-negara Pasifik Selatan (jika bukan anggota Pasifik Selatan itu sendiri). Sayang, intensitas hubungan Indonesia dengan negara-negara tersebut masih lemah. Kondisi ini mungkin saja berubah di masa mendatang, mengingat Pasifik Selatan sebenarnya dapat menjadi mitra non-tradisional yang potensial. Pertama, kawasan ini dapat menjadi mitra penting dalam mewujudkan cita-cita sebagai Poros Maritim Dunia. Kerja sama di bidang infrastruktur maritim dan konektivitas pelayaran jelas menarik bagi kedua pihak, yang memiliki kesamaan tantangan sebagai negara maritim. Kedua, kemitraan yang erat dengan negara-negara Pasifik Selatan memberi Indonesia daya tawar lebih dalam isu separatisme Papua. Sebagaimana diketahui, dalam isu ini negara-negara Pasifik Selatan kerap ‘menyerang’ Indonesia melalui forum-forum PBB.
Selayang Pandang Kawasan Pasifik Selatan
Kawasan Pasifik Selatan memiliki definisi yang cukup beragam, namun dalam tulisan ini penulis akan menyebut Pasifik Selatan sebagai negara-negara Oseania di luar Selandia Baru. Tidak hanya negara-negara berdaulat (Fiji, Papua Nugini, Kep. Solomon, Vanuatu, Mikronesia, Kiribati, Kep. Marshall, Nauru, Palau, Samoa, Tonga dan Tuvalu), Pasifik Selatan juga mencakup teritori seberang laut milik negara lain (Kaledonia Baru, Guam, Kep. Mariana Utara, Samoa Amerika, Kep. Cook, Polinesia Perancis, Niue, Kep. Pitcairn, Tokelau, dan Kep. Wallis dan Futuna). Negara-negara dan teritori tersebut terbagi menjadi tiga subkawasan kultural, yaitu Melanesia, Mikronesia dan Polinesia, berdasarkan corak budaya dan letak geografis.
Negara-negara di kawasan ini umumnya memiliki keadaan dan ciri-ciri berikut:
Berukuran kecil dan berbentuk kepulauan, terkadang jarak antara satu pulau dengan pulau lainnya cukup jauh.
Memiliki proporsi wilayah lautan yang sangat besar dibandingkan wilayah daratannya.
Mayoritas penduduknya merupakan kelompok etnis asli Pasifik, dengan kelompok pendatang dari Asia sebagai minoritas.
Pendapatan ekonomi bergantung pada hasil-hasil alam dan pariwisata.
Sistem politik yang belum stabil.
Memiliki kerawanan tinggi terhadap bencana alam.
Regionalisme di kawasan ini dijalankan melalui Pacific Island Forum (PIF), yang didirikan pada tahun 1971 dan beranggotakan negara-negara di kawasan Pasifik Selatan plus Australia dan Selandia Baru, dan memiliki anggota peninjau dari Eropa, Amerika, dan Asia termasuk Indonesia. Proyek regionalisme dalam kerangka PIF tidak selalu berjalan lancar. Banyak pihak mengkritik PIF yang terlalu didominasi oleh Australia. Fiji, misalnya, pernah mengalami perseteruan diplomatik dengan Australia, kemudian dikeluarkan dari PIF. Fiji pada akhirnya membentuk institusi tandingan dengan nama Pacific Islands Development Forum (PIDF).
Dominasi Australia tidak lepas dari fakta bahwa ia merupakan satu-satunya negara dengan kapasitas militer dan ekonomi yang besar di kawasan tersebut. Dalam hubungan asimetris antara Australia dengan negara-negara Pasifik Selatan, hubungan kooperatif ditunjukkan misalnya melalui Regional Assistance Mission to Solomon Islands/RAMSI). Meski begitu, discord/konflik juga muncul seperti yang dialami Fiji ketika keanggotaannya di PIF dibekukan. Dalam beberapa tahun terakhir, dominasi Australia mulai digoyahkan oleh pemain baru: Tiongkok. Ekspansi Tiongkok di Pasifik Selatan, terutama di bidang ekonomi, menimbulkan kekhawatiran di pihak Australia, mengingat peran Tiongkok di kawasan yang dianggap sebagai ancaman bagi Amerika Serikat, sekutu utama Australia. Beberapa analis militer dan pengamat Australia, seperti Mike Rogers menyebut Australia kian gusar dengan manuver Tiongkok di wilayah yang selama ini menjadi sphere of influence-nya.
Potensi Diplomasi Indonesia di Kawasan Pasifik Selatan
Indonesia saat ini mempunyai prioritas untuk memperluas diplomasi ke mitra-mitra non-tradisional. Hubungan kooperasi yang semakin luas dipandang sebagai bentuk kebangkitan Indonesia sebagai kekuatan regional dan membuka peluangnya untuk tampil sebagai aktor global, terutama dengan melihat proyeksi ekonomi Indonesia yang akan masuk sepuluh besar dunia. Bagi Indonesia, kawasan Pasifik Selatan dapat dihubungkan dengan beberapa konsep yang menjadi nilai tawar diplomasi Indonesia, seperti ASEAN berikut organ-organ di bawah naungannya, juga konsep Indo-Pasifik yang mulai dipromosikan Indonesia dalam beberapa waktu terakhir.
Saat ini, Indonesia baru mempunyai misi diplomatik ke dua negara Pasifik Selatan, yakni Papua Nugini dan Fiji. Negara-negara lain seperti Samoa, Tonga, serta Vanuatu dirangkap misinya di bawah KBRI Canberra dan Wellington. Indonesia juga menjadi anggota peninjau dari Pacific Islands Forum sejak tahun 2001. Menurut stius resmi PIF, Indonesia berniat mempererat kerjasama dengan kawasan Pasifik Selatan di bidang HAM, perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan, serta ikut serta dalam ratusan capacity building programmes dengan negara-negara anggota PIF.
Indonesia bertekad untuk mempererat hubungan ekonomi yang sejauh ini masih minim. Data dari PIF menunjukkan bahwa volume perdagangan Indonesia-Pasifik Selatan masih berkisar di angka 284 juta dolar AS pada tahun 2016. Dari jumlah tersebut, sebagian besar terkonsentrasi di Papua Nugini, kemudian diikuti Fiji, Mikronesia, dan Kep. Marshall. Data perdagangan Indonesia dan negara-negara Pasifik Selatan dapat dilihat pada bagan berikut.

Meskipun masih rendah, Pemerintah mulai menunjukkan keseriusan untuk menggenjot angka perdagangan dengan kawasan ini. Bulan Mei 2018, misalnya, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita membuka misi perdagangan Indonesia ke negara-negara Pasifik Selatan, dengan titikberat pada sektor ritel, perikanan, pertanian. Dengan manuver-manuver tersebut, pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apa urgensi Indonesia mempererat relasi dagang dengan negara-negara yang pasarnya amat kecil tersebut? Seperti akan dijelaskan di bagian selanjutnya, hubungan ekonomi diharapkan mampu meredam keunggulan propaganda negara-negara Pasifik Selatan dalam isu yang sensitif: kemerdekaan Papua.
Diplomasi Papua demi NKRI
Isu Papua adalah isu paling sensitif yang mempengaruhi hubungan antara Indonesia dengan negara-negara Pasifik Selatan. Dugaan pelanggaran HAM dan masalah-masalah hak menentukan nasib sendiri kerap disuarakan oleh negara-negara di kawasan tersebut. Kita tentu ingat sebuah momen Sidang Umum PBB yang viral pada 2016 lalu. Ketika itu, diplomat RI Nara Masista Rakhmatia ‘menyemprot’ negara-negara seperti Tuvalu, Tonga, dan Vanuatu, atas tudingan negatif yang mereka lancarkan terkait HAM di Papua. Negara yang disebut terakhir perlu digarisbawahi sebagai aktor paling antagonis bagi Indonesia.
Pada 1980 silam, PM pertama Vanuatu Walter Hadye Lini menyuarakan The Melanesian Way, suatu cita-cita membebaskan ranah Melanesia (termasuk Irian Jaya RI) dari ‘belenggu kolonialisme’. Spirit itulah yang agaknya mendorong Vanuatu untuk ‘menghasut’ tetangga-tetangganya untuk mendukung kemerdekaan Papua. Berutung bahwa saat ini posisi Indonesia di atas angin dengan status anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, dan berencana masuk dalam kursi pimpinan Dewan HAM PBB.
Di luar PBB, Indonesia sebenarnya telah berupaya melawan kampanye negatif negara-negara tersebut melalui forum Melanesian Spearhead Group (MSG). MSG merupakan suatu institusi regional yang bertujuan menjaga persaudaraan negara-negara Melanesia. MSG didirikan pada 1986, dan kini memiliki 5 anggota yakni Fiji, PNG, Kepulauan Solomon, Vanuatu, dan Front De Liberational De Nationale Kanak Et Solcialiste (FLNKS). Indonesia bergabung sebagai pengamat pada 2011, sebelum menjadi associate member pada 2015. Diplomasi gigih Indonesia dalam MSG terbukti krusial, mengingat Front Pembebasan Papua berkali-kali mencoba masuk sebagai anggota dalam institusi tersebut. MSG memang berbeda dari Pacific Islands Forum (PIF) yang keanggotaannya terbatas pada negara-negara berdaulat penuh. Analis hubungan internasional UI Beginda Pakpahan meyakini bahwa Indonesia perlu memperdalam keikutsertaannya dalam MSG, guna meredam kampanye pro-kemerdekaan Papua.
Indonesia agaknya belum merasa cukup dengan partisipasi di MSG. Pada Maret 2019 lalu, Indonesia mengambil kemudi dengan menyelenggarakan Forum Indonesia-Pasifik Selatan. Pertemuan tersebut jauh lebih inklusif dari MSG, dengan keikutsertaan 15 negara (Indonesia, Australia, Federasi Mikronesia, Fiji, Kaledonia Baru, Kepulauan Cook, Kepulauan Masrshal, Kepulauan Solomon, Kiribati, Nauru, Palau, Papua Nugini, Selandia Baru, Tonga, dan Tuvalu). Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan berupa Preferential Trade Agreement (PTA) antara Indonesia dan negara-negara Pasifik Selatan. Juli mendatang, Indonesia juga akan menyelenggarakan Pameran Ekonomi Pasifik di Auckland, Selandia Baru. Menariknya, Indonesia tetap mengundang Vanuatu untuk ikut serta, mengindikasikan pentingnya pendekatan “ramah-tamah” dan kooperatif guna melunakkan sikap radikal Vanuatu.
Selain upaya oleh pemerintah, diplomasi multitrack juga terus dilakukan, dengan melibatkan masyarakat setempat, pelaku-pelaku ekonomi, tokoh masyarakat, budaya dan agama. Semua upaya di atas dilakukan dengan sesuai prinsip diplomasi yang terbuka, non-konfrontatif dan bermanfaat. Tentu saja, upaya diplomasi ke luar tidaklah cukup. Indonesia juga perlu memperhatikan keadaan internal Papua sendiri. Sejauh ini, strategi pemerintah yakni menonjolkan wajah baru Papua sebagai wilayah yang tumbuh pesat dari segi infrastruktur dan standar hidup.
Diplomasi Indonesia untuk Pembangunan Pasifik Selatan
Di masa mendatang, diplomasi maritim agaknya dapat menjadi proyek jangka panjang Indonesia di Pasifik Selatan. Sebagai sesama negara kepulauan, Indonesia dapat mempromosikan diri sebagai model pembangunan maritim, khususnya dalam hal infrastruktur dan konektivitas. Konsep Wawasan Nusantara dapat dipromosikan ke negara-negara Pasifik Selatan, bahwa Samudera Pasifik yang luas bukanlah pemisah, melainkan penghubung negara-negara di kawasan Pasifik Selatan. Narasi seperti itu sudah tampak dalam Forum Indonesia-Pasifik Selatan yang digagas Indonesia, Maret 2019 lalu.
Diplomasi maritim tak melulu soal pembangunan inftrastruktur yang memudahkan lalu lintas ekonomi. Indonesia dan Pasifik Selatan memiliki kemiripan bentang geografis sebagai kepulauan yang rawan bencana alam, mulai dari abrasi, banjir rob, hingga tsunami. Negara-negara pulau dengan elevasi rendah bahkan terancam lenyap beberapa tahun ke depan, seiring kenaikan muka air laut. Ironsinya, laporan PBB menyebutkan bahwa pengelolaan bencana di Pasifik Selatan masih terbatas pada penanganan pascabencana, sementara mitigasi dan persiapan prabencana masih berada pada tahap minim. Indonesia dapat menjadi mitra yang positif dalam pengelolaan bencana serta pembangunan berkelanjutan, baik melalui sharing pengetahuan maupun transfer teknologi pengelolaan bencana.
Sebagai penutup, Pasifik Selatan perlu mendapat porsi lebih dalam prioritas diplomasi Indonesia. Terlepas dari citranya sebagai kawasan marginal, Pasifik Selatan perlu ‘dimenangkan’ dalam arena diplomasi, terutama dengan melihat keberpihakan negara-negara tersebut pada kemerdekaan Papua beberapa tahun terakhir. Indonesia perlu mengoptimalkan kehadirannya dalam forum-forum multilateral seperti MSG dan sidang PBB. Selaras dengan itu, Indonesia juga perlu mempererat kooperasi di bidang yang amat relevan seperti infrastruktur maritim, manajemen bencana, juga pembangunan berkelanjutan. DAFTAR PUSTAKA
“About MSG” Melanesian Spearhead Group, diakses 14 Mei 2019 melalui https://www.msgsec.info/about-msg/
“Indonesia – Pacific Islands Forum Secretariat” Forumsec. https://www.forumsec.org/indonesia/
“Indonesia Jadi Tuan Rumah Dialog Tingkat Tinggi Kerja Sama Indo-Pasifik” VOA Indonesia, diakses 14 Mei 2019 melalui https://www.voaindonesia.com/a/indonesia-tuan-rumah-dialog-tingkat-tinggi-kerjasama-indo-pasifik-/4835981.html
“Indonesia Tetap Undang Vanuatu dalam Pameran Ekonomi Pasifik” Bisnis Indonesia, diakses 1 Juni 2019 melalui https://kabar24.bisnis.com/read/20190507/19/919690/indonesia-tetap-undang-vanuatu-dalam-pameran-ekonomi-pasifik
“Kemlu RI – Pacific Islands Forum” Kementerian Luar Negeri RI, diakses 22 April 2019 melalui https://kemlu.go.id/portal/lc/read/132/halaman_list_lainnya/pacific-island-forum-pif
“Rethinking US Strategy in Pacific Islands” CSIS, diakses 14 Mei 2019 melalui https://www.csis.org/analysis/rethinking-us-strategy-pacific-islands
“Siapa Kawan dan Lawan Indonesia di Melanesia Soal Papua Merdeka” Tirto.id, diakses 22 April 2019 melalui https://tirto.id/siapa-kawan-dan-lawan-indonesia-di-melanesia-soal-papua-merdeka-df4R
“Top defence threat now lies in the South Pacific from China” The Australian, diakses 22 April 2019 melalui https://www.theaustralian.com.au/nation/defence/top-defence-threat-now-lies-in-the-south-pacific-from-china/news-story/bd7a80bd44841e3b08b9da7ffad5fd41
Anggoro, Ponco “Rp 60 Miliar untuk Diplomasi Isu Papua” Kompas, diakses 22 April 2019 melalui https://kompas.id/baca/utama/2018/09/05/rp-60-miliar-untuk-diplomasi-isu-papua/
Fitriani, Evi. 2012. Australia dan Negara-Negara Pasifik Selatan: Observasi dan Pandangan dari Indonesia. Depok: UI-Press.
Pakpahan, Beginda. 2018. Indonesia. ASEAN, dan Ketidakpastian Hubungan Internasional. Jakarta: Kompas Gramedia.
“About MSG” Melanesian Spearhead Group, diakses 14 Mei 2019 melalui https://www.msgsec.info/about-msg/
“Indonesia – Pacific Islands Forum Secretariat” Forumsec. https://www.forumsec.org/indonesia/
“Indonesia Jadi Tuan Rumah Dialog Tingkat Tinggi Kerja Sama Indo-Pasifik” VOA Indonesia, diakses 14 Mei 2019 melalui https://www.voaindonesia.com/a/indonesia-tuan-rumah-dialog-tingkat-tinggi-kerjasama-indo-pasifik-/4835981.html
“Indonesia Tetap Undang Vanuatu dalam Pameran Ekonomi Pasifik” Bisnis Indonesia, diakses 1 Juni 2019 melalui https://kabar24.bisnis.com/read/20190507/19/919690/indonesia-tetap-undang-vanuatu-dalam-pameran-ekonomi-pasifik
“Kemlu RI – Pacific Islands Forum” Kementerian Luar Negeri RI, diakses 22 April 2019 melalui https://kemlu.go.id/portal/lc/read/132/halaman_list_lainnya/pacific-island-forum-pif
“Rethinking US Strategy in Pacific Islands” CSIS, diakses 14 Mei 2019 melalui https://www.csis.org/analysis/rethinking-us-strategy-pacific-islands
“Siapa Kawan dan Lawan Indonesia di Melanesia Soal Papua Merdeka” Tirto.id, diakses 22 April 2019 melalui https://tirto.id/siapa-kawan-dan-lawan-indonesia-di-melanesia-soal-papua-merdeka-df4R
“Top defence threat now lies in the South Pacific from China” The Australian, diakses 22 April 2019 melalui https://www.theaustralian.com.au/nation/defence/top-defence-threat-now-lies-in-the-south-pacific-from-china/news-story/bd7a80bd44841e3b08b9da7ffad5fd41
Anggoro, Ponco “Rp 60 Miliar untuk Diplomasi Isu Papua” Kompas, diakses 22 April 2019 melalui https://kompas.id/baca/utama/2018/09/05/rp-60-miliar-untuk-diplomasi-isu-papua/
Fitriani, Evi. 2012. Australia dan Negara-Negara Pasifik Selatan: Observasi dan Pandangan dari Indonesia. Depok: UI-Press.
Pakpahan, Beginda. 2018. Indonesia. ASEAN, dan Ketidakpastian Hubungan Internasional. Jakarta: Kompas Gramedia.
コメント